Sang Ibu sudah riweuh sejak
jauh-jauh hari. Mulai dari beli seragam baru, sepatu baru, tas baru beserta
seluruh isinya. Lengkap. Tak ada yang terlewat. Bahkan, iaberkali-kali mengecek
daftar barang-barang keperluan sekolah. Takut ada yang belum terceklis.
Selain barang, sang ibu
juga menyiapkan mental anak. Bahwa besok masuk sekolah. Harus bangun pagi-pagi,
lalu mandi, dan berangkat sekolah. Bahwa di sekolah ia belajar dengan Bu Guru,
dengan teman-teman baru. Hati ibu senang karena anaknya mengangguk mantap,
sembari tersenyum riang.
Di malam hari, sang ibu
gelisah. Membayangkan hari pertama anaknya di sekolah. Hatinya harap-harap
cemas. Takut anaknya rewel. Khawatir anaknya berulah.
Di depan TV, ia lihat
suaminya sedang khusyu menonton Final Piala Dunia, Perancis melawan Kroasia.
Terbersit rasa kesal di hati. Tatkala ia gelisah tentang hari esok anaknya,
Sang Ayah malah asik nonton bola.
Akhirnya, ia tutup malam
itu sambil menenangkan diri, melangitkàn doa dalam hati, agar dimuluskan esok
pagi.
Kemudian, hari H pun tiba.
Sang ibu bangun terburu-buru. Kantuk masih tersisa di matanya. Pertanda semalam
tak nyenyak tidurnya.
Langkah pertamanya adalah
ke dapur. Menyiapkan bekal terbaik perdana untuk anaknya. Ia membuka kulkas dan
mulai lincah mengolah bahan-bahan yang sudah well prepared sejak kemarin.
Tangannya lihai menari-nari
di dapur. Tetapi hatinya lagi-lagi masih terbayang akan hari pertama anaknya di
sekolah. Sambil mengiris bawang putih, bawang merah, dan menyiapkan bumbu
lainnya, tak henti doa terpanjat untuk kelancaran hari pertama anaknya.
Selesai urusan dapur ia
berlalu ke lemari baju. Memilih: baju dan kerudung mana yang akan digunakan
sebagai hari pertamanya menjadi macan ternak, mama cantik anter anak.
Baju anaknya tak perlu disiapkan
lagi. Sudah sedia sejak H-1. Bahkan masih tercium bau baju baru. Masih klimis
lipatannya.
Setelah ia mandi dan
memakai baju tercucok menurutnya, maka ia bangunkan anaknya. Waktu menunjukkan
pukul 05.30. Jarak ke sekolah adalah 5 menit dari rumah menggunakan motor.
Targetnya, 06.45 ia sudah harus sampai di sekolah. Agar tak terlambat di hari
pertama.
Mandi dan pakai baju 15
menit. Sarapan 15 menit. Sebenarnya hanya perlu 30 menit untuk persiapan.
Tetapi, anaknya memang rada susah bangun pagi. Ia alokasikan waktu 45 menit
untuk antisipasi keterlambatan bangun anaknya dan hal-hal tak terduga lainnya.
Benar sekali dugaannya.
Anaknya susah bangun. Ia baru bangun pukul 06.15. 45 menit alokasi
keterlambatan bangun itu memang tepat. Sesuai prediksi.
Cepat-cepat ia menyuruh
anaknya untuk ke kamar mandi. Dimandikannya anaknya dengan kilat. Setah
berpakaian, ia menyuapi anaknya. Hatinya tetap saja was-was: takut terlambat
dan takut anaknya rewel.
Sepatu sudah dipakai. Tas
ransel sudah di punggung. Topi sudah di kepala. Cus, siap berangkat.
Sebelumnya, Sang ibu
meminta anaknya bersalaman dengan sang ayah, yang sedari tadi serius memegang
HP, mengecek komentar dan analisa netizen tentang kemenangan Perancis 2-1
melawan Kroasia dalam Pesta Bola semalam. Perancis menang membuatnya gembira.
Sehingga terlupa akan persiapan hari pertama anaknya.
Di jalan, tak bosan sang
ibu menjelaskan gambaran skenario setibanya nanti di sekolah. Terselip selalu
pesan: harus baik dengan teman, sopan ke guru, perhatikan pelajaran, jangan
jajan sembarangan, dan masih banyak lagi pesan lain yang ia dapatkan dari hasil
obrolan sesama ibu-ibu komplek.
Tiba di sekolah, sang ibu
seera memarkirkan motornya. Lalu menggandeng tangan anaknya, membawanya ke
depan ruang kelas satu. Tampak sekali ruangn itu paling ramai, karena hampir
semua anak kelas satu diantat oleh orang tuanya.
Ia cek daftar hadir. Ia
cari nama anaknya
Ada di urutan nomor 15. Ia antar anaknya masuk
ke kelas dan mencari nomor 15. Karena pada hari pertama, kursi disesuaikan
dengan nomor pada presensi.
Ia suruh anaknya menaruh
tasnya di meja. Ia beritahu anaknya untuk duduk dengan tenang di kursi. Semua
berjalan lancar.
Kemudian bel berbunyi. Ibu
guru masuk. Lalu meminta orang tau yang masih di dalam kelas untum segera
keluar dari ruangan.
Ia tepuk-tepuk bahu anaknya
sambil membisikkan lagi pesan-pesan yang telah dihafalnya di luar kepala.
Tak disangka, tiba-tiba
anaknya menangis sejadi-jadinya. Semua orang menoleh ke arahnya. Muka sang ibu
memerah karena malu, sekaligus kesal. Ia tak tahu harus bagaimana. Tak mungkin
marah kepada anaknya di depan umum. Tetapi anaknya tak mau diam juga.
Akhirnya, ia rela duduk di
samping anaknya selama jam pertama berlangsung. Untungnya Bu Guru mengizinkan.
Malunya ia simpan dulu.
Demi anak. Agar mau belajar. Agar menjadi anak pintar. Agar nanti jadi orang
besar. [nu] inspired by Rara I.O.
Pict:
http://www.depokpos.com/arsip/2017/05/sosok-ibu-sebagai-panutan-keluarga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar