Senin, 16 Juli 2018

DRAMA HARI PERTAMA SEKOLAH



Sang Ibu sudah riweuh sejak jauh-jauh hari. Mulai dari beli seragam baru, sepatu baru, tas baru beserta seluruh isinya. Lengkap. Tak ada yang terlewat. Bahkan, iaberkali-kali mengecek daftar barang-barang keperluan sekolah. Takut ada yang belum terceklis.

Selain barang, sang ibu juga menyiapkan mental anak. Bahwa besok masuk sekolah. Harus bangun pagi-pagi, lalu mandi, dan berangkat sekolah. Bahwa di sekolah ia belajar dengan Bu Guru, dengan teman-teman baru. Hati ibu senang karena anaknya mengangguk mantap, sembari tersenyum riang.

Di malam hari, sang ibu gelisah. Membayangkan hari pertama anaknya di sekolah. Hatinya harap-harap cemas. Takut anaknya rewel. Khawatir anaknya berulah.

Di depan TV, ia lihat suaminya sedang khusyu menonton Final Piala Dunia, Perancis melawan Kroasia. Terbersit rasa kesal di hati. Tatkala ia gelisah tentang hari esok anaknya, Sang Ayah malah asik nonton bola.

Akhirnya, ia tutup malam itu sambil menenangkan diri, melangitkàn doa dalam hati, agar dimuluskan esok pagi.

Kemudian, hari H pun tiba. Sang ibu bangun terburu-buru. Kantuk masih tersisa di matanya. Pertanda semalam tak nyenyak tidurnya.

Langkah pertamanya adalah ke dapur. Menyiapkan bekal terbaik perdana untuk anaknya. Ia membuka kulkas dan mulai lincah mengolah bahan-bahan yang sudah well prepared sejak kemarin.

Tangannya lihai menari-nari di dapur. Tetapi hatinya lagi-lagi masih terbayang akan hari pertama anaknya di sekolah. Sambil mengiris bawang putih, bawang merah, dan menyiapkan bumbu lainnya, tak henti doa terpanjat untuk kelancaran hari pertama anaknya.

Selesai urusan dapur ia berlalu ke lemari baju. Memilih: baju dan kerudung mana yang akan digunakan sebagai hari pertamanya menjadi macan ternak, mama cantik anter anak.

Baju anaknya tak perlu disiapkan lagi. Sudah sedia sejak H-1. Bahkan masih tercium bau baju baru. Masih klimis lipatannya.

Setelah ia mandi dan memakai baju tercucok menurutnya, maka ia bangunkan anaknya. Waktu menunjukkan pukul 05.30. Jarak ke sekolah adalah 5 menit dari rumah menggunakan motor. Targetnya, 06.45 ia sudah harus sampai di sekolah. Agar tak terlambat di hari pertama.

Mandi dan pakai baju 15 menit. Sarapan 15 menit. Sebenarnya hanya perlu 30 menit untuk persiapan. Tetapi, anaknya memang rada susah bangun pagi. Ia alokasikan waktu 45 menit untuk antisipasi keterlambatan bangun anaknya dan hal-hal tak terduga lainnya.

Benar sekali dugaannya. Anaknya susah bangun. Ia baru bangun pukul 06.15. 45 menit alokasi keterlambatan bangun itu memang tepat. Sesuai prediksi.

Cepat-cepat ia menyuruh anaknya untuk ke kamar mandi. Dimandikannya anaknya dengan kilat. Setah berpakaian, ia menyuapi anaknya. Hatinya tetap saja was-was: takut terlambat dan takut anaknya rewel.

Sepatu sudah dipakai. Tas ransel sudah di punggung. Topi sudah di kepala. Cus, siap berangkat.

Sebelumnya, Sang ibu meminta anaknya bersalaman dengan sang ayah, yang sedari tadi serius memegang HP, mengecek komentar dan analisa netizen tentang kemenangan Perancis 2-1 melawan Kroasia dalam Pesta Bola semalam. Perancis menang membuatnya gembira. Sehingga terlupa akan persiapan hari pertama anaknya.
Di jalan, tak bosan sang ibu menjelaskan gambaran skenario setibanya nanti di sekolah. Terselip selalu pesan: harus baik dengan teman, sopan ke guru, perhatikan pelajaran, jangan jajan sembarangan, dan masih banyak lagi pesan lain yang ia dapatkan dari hasil obrolan sesama ibu-ibu komplek.

Tiba di sekolah, sang ibu seera memarkirkan motornya. Lalu menggandeng tangan anaknya, membawanya ke depan ruang kelas satu. Tampak sekali ruangn itu paling ramai, karena hampir semua anak kelas satu diantat oleh orang tuanya.

Ia cek daftar hadir. Ia cari nama anaknya
 Ada di urutan nomor 15. Ia antar anaknya masuk ke kelas dan mencari nomor 15. Karena pada hari pertama, kursi disesuaikan dengan nomor pada presensi.

Ia suruh anaknya menaruh tasnya di meja. Ia beritahu anaknya untuk duduk dengan tenang di kursi. Semua berjalan lancar.

Kemudian bel berbunyi. Ibu guru masuk. Lalu meminta orang tau yang masih di dalam kelas untum segera keluar dari ruangan.

Ia tepuk-tepuk bahu anaknya sambil membisikkan lagi pesan-pesan yang telah dihafalnya di luar kepala.

Tak disangka, tiba-tiba anaknya menangis sejadi-jadinya. Semua orang menoleh ke arahnya. Muka sang ibu memerah karena malu, sekaligus kesal. Ia tak tahu harus bagaimana. Tak mungkin marah kepada anaknya di depan umum. Tetapi anaknya tak mau diam juga.

Akhirnya, ia rela duduk di samping anaknya selama jam pertama berlangsung. Untungnya Bu Guru mengizinkan.

Malunya ia simpan dulu. Demi anak. Agar mau belajar. Agar menjadi anak pintar. Agar nanti jadi orang besar. [nu] inspired by Rara I.O.

Pict: http://www.depokpos.com/arsip/2017/05/sosok-ibu-sebagai-panutan-keluarga/